-
Segelintir cerita
di Kampung halaman
Atap
yang lonjong mirip tanduk kerbau yang melebar besar khas sekali dengan budaya
minangkabau yang permai. Gambaran tentang dimana seorang pendiri bangsa tumbuh
dari rumah khas Rang pandan gadang. Memang
setiap Rumah Gadang khas minang kabau berbeda setiap daerah mulai dari pintu,
jendela, tangga serta ruangan dan arsitektur yang ada. Semua itu di pengaruhi
oleh lingkungan alamnya dan leluhur dulunya. Sesuai dengan budaya adat minang
selalu surau, sebuah tempat beribadah
dan brekumpul bagi pemuda minang. Tempat ini sama seperti mushala namun lebih
besar dari mushala. Dari sini lah setiap pemuda minang menuntut ilmu baik agama
maupun yang lainnya seperti silat sebagai pembela diri.
Agama
bagi orang minang adalah bagian dari hidup mereka karena agama adalah bagian
dari adat ibarat antara roh dan jasad, ibarat falsafah minang :
“ Adat
basandi syarak, dan syarak basandi Kitabullah” artinya adat berpegang pada
agama, agama berpegang pada kitab Allah( Alquran).
Begitulah adanya budaya dan agama saling
menopang satu sama lain dalam mejembatani hidup. Begitupun dalam hal budaya dan
pembelaan diri semua lebih kepada aturan leluhur. Leluhur mengajarkan silat
atau bahasa minangnya silek yang
merupakan seni bela diri dalam membekali diri menjalani kehidupan.Silek sangat berguna bagi seorang pemuda
minang sebelum merantau jauh. Budaya orang minang adalah perantau jadi butuh
pembekalan dalam menjaga diri baik hati maupun raga. Seperti petatah petitih
minang
“ musuah indak dicari tapi kalu basuo pantang
di ilak an” artinya musuh dicari tapi kalu ada dan ketemu pantang dihindari
atau di elakan.
Itulah pedoman seorang pemuda minang dalam
merantau.Orang minang selalu menjunjung tinggi adat dia dan adat tempat dia
tinggal atau hidup. Sesuai pepatah leluhur orang minang.
“Dimano
bumi di pijak, di sinan langik di junjuang” artinya dimana bumi di pijak
disana pula langit di junjung. Itu
lah bekal seorang pemuda minang dalam menjalani hidup baik diperantauan atau di
kampong sendiri.
Keluarga Tan malaka
atau leluhurnya awalnya datang dari Bonjol, utara Payakumbuh ketika
pecah perang Paderi karena daerah sebelumnya tidak subur. Pandan Gadang adalah
sebuah lembah yang subur. Jalanan dari payakumbuh berliku-liku mengitari bukit
barisan disekelilingnya. Kemudian datang penjajah kolonial belanda dan
menempatkan seorang kontrolir. Ini seperti jabatan camat pada pemerintahan. Setelah kedatangan
kolonial terjadi pungutan pajak dengan menanam kopi sebagai penggantinya.
Rumag gadang selalu ada seperti tabek, kolam ikan dimana hasilnya bisa dimakan bersama.kolam ikan
biasa diisi sama ikan air tawar. Ada juga rangkiang
, tempat penyimpanan beras khas minang kabau. Jadi semua persediaan itu
sudah ada di alam, tinggal bagaimana memanfaatkannya. Alam begitu pemurah,
sawah dipanen dua kali setahun dan air gunung mengaliri sawah sawah tersebut.
Dari alam semunya ada, dari alam pun kita belajar seperti kata papatah dan
falsafah orang minang
“alam takambang
jadi guru” artinya
alam yang terlentang dan luas bisa jadi Guru. Begitulah pepatah minang
mengajarkan setiap pemuda dalam mengarungi setiap kehidupan.
Itulah gambaran bagi seorang pemuda sebelum beranjak
dewasa harus banyak perbekalan ilmu baik dunia dan akhirat. Semua harus matang
dalam mendapatkan ilmu tersebut sehingga hidup lebih penuh arti dan makna.
Begitu potret lelaki minangkabau Seperti Apa yang di lakukan Tan malaka kecil
atau biasa dipanggil Ibra.. Dia juga gemar sekali bermain layang-layang. Kecenderungan lelaki minang
jarang berdiam diri atau tidur di rumah mereka lebih senang di surau . begitupun Tan malaka dalam
kesehariannya.
Tan malaka sosok anak yang badung tapi baik hati dan
pemberani. Dalam menuntut ilmu agama Tan sudah hapal Alquran dan tidak pernah
meninggalkan sembahyang atau shalat. Selain itu
Tan malaka adalah seorang
perenang ulung di kampungnya waktu kecil, beberapa kali ia ditantang sama
temannya untuk berenang. Namun suatu saat Tan kurang beruntung dalam menghadapi
tantangan temannya itu. Kejadian itu berawal ketika Tan mengunjungi ayahnya
yang bekerja di Tanjung Ampalu,
Sawahlunto. Ia di tantang anak-anak setempat untuk menyeberangi sebuah sungai
selebar 50 meter yang berarus deras.
Tan tidak kuat menahan kuatnya arus sungai dan hadangan
aliran sungai yang luas. Dia terombang-ambing dan hilang ingatan. Badan yang
kurus terapung-apung di sungai yang luas dan deras. Tubuhnya terbawa arus
sungai yang luas, namun beberapa saat seorang teman yang bertubuh besar
menyeretnya ke pinggir sungai. Akhirnya dia kembali sadar dari peristiwa yang
hampir meregut nyawanya itu. Kerasnya hati Tan malaka tidak sebesar
kemampuannya dalam menghadapi tantangan menyeberangi sengai yang lebarnya 50
meter dengan arus yang kuat dan deras.
***
Ia berada disisi Ibunya dan ibunya sudah menyiapkan
sebatang kayu rotan untuk memukulnya. Beberapa kali pukulan rotan mengayun kea
rah Tan malaka, datanglah ayahn-ya yang
menyelamatkan Tan malaka dari kemarahan ibunya akibat dari tingkah laku
Tan yang bandel. Demi menghindari kemarahan Ibu Tan Malaka, maka Ibra atau
sapaan kecil Tan di ikat di pinggir jalan. Ayahnya mengikat Ibra sebagi Hukuman
dan terhindar dari pukulan ibunya. Ibra menjadi tontonan bagi orang yang lewat
di pinggir Jalan, Terutama anak-anak yang seumuran dengan dia.
Ibunya Tan tidak habis akal, dia mengadukan kelakuan
anaknya itu pada Guru Gadang atau
guru kepala. Pengaduan itu berbuah sebuah hukuman buat Tan. Pada saat itu
hukuman ini sangat mengerikan bagi kalangan anak-anak, sebuah hukuman bagi anak
yang kelewat badung. Hukuman itu adalah pilin
pusar atau Jewer Puser. Akhirnya Tan sudah terbiasa kena hukuman jewer
Puser. Tan malaka ketika main sembur-semburan dan permainan “perang jeruk” yang berujung pada
peristiwa saling lempar batu, dan kemudian Tan dihukum ibarat “penjahat perang”
karena dihukum dengan cara dikurung dalam kandang ayam dan pilin pusar atau jewer
puser.
Kebadungan Tan malaka atau Ibra berbanding terbalik
dengan kecerdasan sehingga para guru di
sekolah kelas dua sampai terkagum. Mereka sampai merekomendasikan Ibra untuk
melanjutkan pendidikannya pada sekolah yang sesuai dengan tingkat
kecerdasannya. Mereka menyuruh Tan masuk sekolah ke Sekolah Guru Negeri untuk
guru-guru pribumi di Fort de Kock (Bukittingi Sekarang). Di
sini satu-satunya lembaga lanjutan bagi lulusan Sekolah kelas Dua, setelah
menempuh pendidikan selama lima tahun.
Sekolah ini biasanya hanya diperuntukan bagi golongan
kelas atas seperti bangsawan atau sekelas ningrat. Hanya segelintir orang yang
bisa masuk sekolah ini terutama pegawai tinggi. Sedangkan ayah Ibra hanya
pegawai rendahan yang bekerja sebagai mantra suntik atau atau vaksinator yang
berganji rendah hanya beberapa Gulden(F)
saja. Sedangkan biaya yang ditanggung Ibra sampai delapan Guden (F8).
Semua itu tidak membuat ibra patang arang. Banyak
sokongan dan dukungan yang datang terutama dari para guru kelas dua. Mereka
ingin Ibra atau Tan melanjutkan pendidikan di Kota Benteng. Sebab Tan adalah
calon datuk di Pandang gadang, maka perlu Ilmu dan pendidikan yang cukup
sebagai bekal nanti dalam melanjutkan pucuk pimpinan adat dan akan membewahi
beberapa datuk nantinya.
Pada 1907 tan malaka terdaftar bersekolah di fort de kock. Disinilah awal perantauan Tan atau Ibra sebelum dia
berangkat ke negeri Kincir angin.
Para tetua kampung melepasnya sebagai salah satu cara memperbaiki kehidupan.
Sesuai dengan Falsafah minang yakni “
Pambangkik batang tarandam” artinya sebagai orang yang akan membawa
kehormatan keluarga bahkan kampung atau adat. Jiwa dan darah yang mengalir bagi
orang minang adalah merantau, karena dengan merantau bakal membawa nilai-nilai
kebaikan yang ada di dunia luar sana.
Dalam sistem adat minangkabau yang matrilineal yakni
berdasarkan garis keturunan ibu menjadi salah satu tolak ukur bahwa anak
laki-laki akan terusir dari kampung dan merantau, dan kembali pulang dengan
sebuah keberhasilan yang membanggakan orang tua, sanak keluarga, adat dan kaum.
Dalam perantauanya di Kota Jam Gadang itu, Tan banyak
belajar terutama tentang budaya penjajahnya yakni Belanda. Dia belajar bahasa
Belanda dan kemudian bergabung dengan
orkes sekolah sebagai pemain Cello di bawah komando G.H Horensma. Disamping itu
Tan juga tak lupa akan hobinya dulu yakni main bola sama seperti dikampung.
Banyak menghabiskan waktu luang dengan bermain sepak bola.
Tan dianggap oleh
Horensma sebagai anak sendiri, sampai Tan dipanggil dengan sebutan Ipie.
Horensma sangat saying pada IPie, setiap saat selalu mengingatkan untuk belajar
lebih giat. Namun hanya sia-sia semata tan lebih senang bermain, tapi bagi Tan bermain dan belajar sama penting karena
kecerdasan Tan yang cemerlang, jadi dia tidak perlu mengulang pelajaran lagi
sebab sudah lengket di otaknya yang cerdas namun badung. Tan atau Ipie
panggilan bagi oleh Horensma menjadi siswa yang cerdas, samapi Horensma pun
terkesima dengan kecerdasan Tan. Sebadungnya IPie tapi dia tetap ramah dan
santun.
***
Musim liburan sudah datang, waktunya Tan alias Ipie,
alias Ibra pulang kampung semenjak dia pertama kali merantau Ke Fort de Kock.
Ia kembali ke Pandang Gadang, kampung halamannya Tan. Mungkin karena rasa rindu
dia pulang. Di rumah dia bercita-cita ingin adiknya kamaruddin belajar sungguh
sungguh dan tidak mendapatkan nilai yang merah. Kamaruddin adalah adik
satu-satunya Tan. Sehingga Tan ingin adiknya bisa mengikuti jejak Tan. Pada
suatu hari adiknya kamaruddin mendapatkan nilai rendah atau merah, maka Tan
tanpa banyak cakap dan basa – basi langsung menyeret adiknya itu ke empang dan
secara berulang dia membenamkannya. Sambil berkata Tan pada adiknya
“Bodoh, kamu Harrus belajar!”
Bagaimana kerasnya sosok Tan dalam menerapkan kemauan kerasnya agar
adiknya itu mau belajar keras.
Apa yang
ditunggu akhirnya datang juga, peristiwa dimana sebuah gelar dan penobatan
terhormat bagi Tan sebagai pemangku Gelar. Keluarga besar Tan di Suliki harus memanggilnya pulang walaupun setahun
lagi Tan akan ujian teori akhir. Penobatan datuk yang Tan terima sebagai
pengganti gelar terdahulunya yang sudah tua dan tidak bisa lagi memimpin.
Penobatan ini biasanya diselingi dengan pertunangan tapi Tan menolak
pertunangan tersebut sehingga Pihak keluarga besar kecewa terhadap penolakan
Tan tersebut. Penobatan sebagai sebuah pesta atau dinamakan Alek Gadang , Alek Gadang ini tidak hanya Penobatan Gelar tapi juga penikahan.
Pesta besar ini pun Kurang meriah kerena penolakan pertunangan tersebut.
Setelah acara
usai Tan malaka, kembali lagi ke kota Jam Gadang melanjutkan aktifitasnya. Dia
terlarut dan tengelam dalam pelajaran serta hobi nya. Dalam kegiatannya Tan
mengikuti berbagai kegiatan seperti mengajar baris berbaris atau biasa disebut
dengan pelatihan baris berbaris (PBB). Dalam masa itu PBB sangat terkenal
seperti tentara karena pengaruh dari penjajahan militer belanda.
-
Perjuangan Di Negeri Kincir Angin
Tan berangkat ke Belanda untuk melanjutkan sekolah guru.
Tan di Belanda tepatnta di daerah Haarlem. Dsini dia pertama kali menginjakan
kaki di tanah Dam ini. Tan datang ke Belanda tahun1913. Tan yang dulu tak jauh
beda dengan Tan yang di Belanda. Tan tinggal di sebuah rumah pemondokan bersama
murid Rijkweekschool di jalan Nassaulaan. Tapi Tan tidak betah di sana, dan ia
pindah ke Jacobijenestraat yakni sebuah jalan kecil di belakang Grote Markt.
Rumah-rumah tua dan kecil terlihat seperti berdesakan. Tipikal rumah buruh yang
bergaya tahun abad 20 –an.
Tan malaka disambut suasana dan aura kemiskinan. Haarlem
pada saat itu sedang dilanda depresi ekonomi dan jatuh bangun. Banyak
pabrik-pabrik gulung tikar seperti pabrik bir, tekstil, dan lainnya yang tidak
dapat lagi menjadi tulang punggung kota haarlem. Dalam kondidi yang tak pasti
Tan menempuh pendidikan gurunya di Negeri incir angin ini. Dia harus bias
menyesuaikan dengan keadaan setempat baik dari iklim, makanan, serta kehidupan
denganbudaya yang baru.
Dengan dana dan uang saku yang minim tan harus berjuang
menempuh pendidikan guru untuk membawa sebuah cita-cita yakni Indonesia yang
bebas dari kolonialisme. Dengan uang saku yang hanya 50 gulden setiap bulannya,
Tan hanya sanggup tinggal dengan keluarga miskin. Hamper setiap hari Tan
bersepeda ke sekolah. Gedung Rijkweekschool di tepi sungai Spaarne yang
berjarak 10 hingga 15 menit bersepeda.
Semangat Tan menempuh pendidikan guru berkat Guru tan
teman-temannya yang mudah menerima Tan yang pandai bergaul walalupun kendala
bahasa ada. Tan yang hobi sepak bola, membuat Tan masuk ke klub Vlugheid Wint.
Tan memilki tendangan yang kencang tapi Karena dia tak bersepatu Tan sering
terluka. Bukan itu saja, saat bermain bola yang lain pakai baju yang tebal atau
jaket tapi Tan tidak memakainya sehingga teman-temannya selalu memperingatkan
Tan. Karena keadaan yang tak baik maka Tan
terserang penyakit radang paru tepat pada musim panas. Kondisi Tan yang kurang
sehat membuat Tan sulit untuk belajar, pada saat ujian pun Tan ambruk.
Dalam segi pemikiran Tan dalam politik menjadi
berkembang dan bersemi seiring musim semi yang ada. Tan tidak tahu bahwa dunia
yang sedang bergolak membuat para teman-temanya melarikan diri dari
pengungsian. Kata revolusi selalu menjelma dalam jiwa tan mengalir dalam setiap
darah Tan. Tan tak bias menghindar dari pergulatan politik dunia yang memanas.
Perang yang berkecamuk membuat perkembangan pemikiran politik Tan bertambah.
“tiba-tiba saya berada dalam semangat dan paham yang
lazim dinamai revolusioner,” tutur Tan dalam tulisannya. Bacaan yang berhaluan
kiri membuat Tan mengatakan Revolusi adalah segalanya. Para filsuf dan pemikir
politik yang berhaluan kiri menjadi pedoman Tan dalam merintis Revolusi untuk
Indonesia. Sebagai pelajar bangsa yang terjajah, Tan Malaka Akhirnya merasa
sudah saatnya ada revolusi di Indonesia agar terlepas dari penjajhandanmulai
membangun system sosialisme. Tan banyak mendapatkan pelajaran penting tentang
politik selama enam tahun, Tan akhirnya memutuskan untuk pulang ke
Indonesiapada tahun 1919 tersebut. Tan pulang hanya dengan satu cita-cita yakni
mengubah nasib bangsa Indonesia.
-
Tan Malaka dan
Sekolah Deli
Deli adalah kota besar dengan penduduk
sekita dua juta orang, namun menyedihkan di sana. Sekitar 60 persen penduduk
Deli merupakan keluarga kuli kontrak perkebunan, pertambangan minyak, dan
pengangkutan. Mereka proletar tulen dan para pemilik tanah kaum bourjuis tulen
yang arogan. Deli merupakan daerah proletaria yang sesungguhnya. Tan datang ke
Deli atas pemintaan Janssen-lah sebagai direktur sekolah, yang pada saat itu
Tan menempuh pendidikan sekolah guru di belanda. Karena Tan sudah bertekad
untuk pulang ke Indonesia Pada Saat itu dan ada tawaran untuk bekerja di
Sekolah maka Tan menerima tawaran itu.
Tan malaka selalu menjadikan Marxisme dan antikolonialisme
sebagai dasar hidupnya dan pendidikan bagi anak kuli di Deli. Perjuangannya
dalam membela anak para kuli di perkebunan selalu menjadi boomerang oleh para
tuan tanah. Pada rapat tuan tanah di wilayah perusahaan senembah Mij baru saja
di mulai. Tuan besar perkebunan hadir dalam rapat tersebut. Di antara yang
hadir hanya dua orang yang Tan kenal, salah satu diantaranya Herr Graf yang
berasal dari Tanjung Morawa, yang saat itu bernama Sumatera timur.
Suasana yang tegang terjadi saat kedua mata mereka
bertemu di titik yang sama.tapi Graff mengalihkan pandangannya ke arah yang
lain Seolah musuh bebuyutan yang tak pernah akur. Tan menyebut Graff musuh
nomor satu disana. Saling beradu pandang ibarat saling beradu pedang diantara
mereka berdua selama rapat. Alasan utama Tan tidak suka pada Graff karena Graff
menyebarjan fitnah dan menjelek-jelekan Tan. Suasana semakin panas dan tiba
waktu bagi tan untuk menyampaikan pendapatnya. Tan tidak menyiakan kesempatan
dan peluang yang ada.
Menurut Tan pendidikan bagi para anak kuli penting dalam
mewujudkan tujuan mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta
memperhalus perasaan. Tan berbicara sperti itu karena sudah memiliki jabatan
penting dalam pengawasan sekolah di Deli serta Tan sudah dua tahun menjadi asisten
disana.
“Anak kuli adalah manusia juga ,“ Kata Tan bersemangat.
Tan merasa para tuan tanah, pengawas atau pemilik kebanyakan tidak mempedulikan anak para kuli.
Mereka menganggap sekolah bagi anak kuli Cuma membuang Uang, sebab sekolah
dalam pola pikir para tuan tanah bakal menimbulkan kebrutalan dan kekhawatiran
lebih dari bapak mereka. Pendidikan bias membuat kader-kader baru pada
organisasi yang ada sperti sarekat islam.
Setelah beberapa hari rapat usai, Tan bertemu Dr Janssen yakni direktur sekolah. Pada juni
1921 itu juga Tan mengajukan permintaan yang mengejutkan yakni pengunduran diri
Tan disebabkan oleh ketidak sukaan para tuan tanah pada Tan karena
memperjuangkan pendidikan para anak kuli. Tan merasa komplotan tuan perkebunan
tembakau yang dipimpin oleh Graff sangat mengganggu kerjanya, selain itu ada
beberapa hal yang membuat Tan harus benar-benar mengambil keputusan yang bijak
dalam pengunduran dirinya. Beberapa perkara yang membuat tan merasa tidak bias
lagi bertahan disekolah tersebut sebagai asisten, pertama perbedaan warna kulit
yang ada, kedua ada pada model pendidikan bagi anak kuli, ketiga menyangkut
artikel-artikelnya pada surat kabar di Deli, dan yang terakhir menyangkut
hubungannya dengan para kuli perkebunan.
Tan melihat semua
perkara itu dari kaca mata Marxisme yakni konflik antara kaum kapitalis dan
proletar. Tan menyebutnya pertentangan antara “Belanda-kapitalis-penjajah” dan
“Indonesia-Kuli-jajahan”. Tapi Janssen tidak menghalagi keinginan Tan tersebut
Karena dia juga akan balik ke Belanda. Dia meminta kantor untuk membayar gaji
Tan selama dua bulan dan menyediakan Tan sebuah karcis kapal laut kelas satu ke
Jawa. Perjuangan tandi negeri seberang
membuat Tan harus terbuang kembali ke negeri Kincir angin ini.
Tan selama di jawa aktif dalam pergerakan dengan tokoh
islam lainnya, terutama dalam hal pendidkan untuk rakyat. Tapi karena belanda
tidak suka pada gaya pendidikan Tan yang akan merongrong Belanda maka Tan
ditangkap apad amret 1922 di Bandung, karena pada saa itu terjadi pemogokan
buruh dan Tan menjadi wakil ketuanya. Tan ke Belanda bukan sebagai pelajar lagi
tapi sebagai orang buangan.