Total Tayangan Halaman

Selasa, 20 November 2012

ORGANISASI MEDIA NEWS ONLINE DAN ETIKA JURNALISTIK




            Di era media baru saat ini, peralihan dari media cetak konvensional ke media online turut mempengaruhi industri media Indonesia. Kini, di Indonesia semakin banyak situs news online yang menawarkan update berita terkini yang dapat diakses secara cepat melalui internet dimanapun dan kapanpun. Awalnya news online ini dipelopori oleh detik.com, lalu kemudian diikuti dengan munculnya portal online yang lain seperti okezone.com, vivanews.com, inilah.com, beritasatu.com, tribunnews.com, dan sebagainya. Media cetak maupun televisi yang memiliki program berita juga mulai meluncurkan news online mereka, seperti kompas.com, mediaindonesia.com, tempointeraktif.com, metrotvnews.com, jawapos.com, liputan6.com, tvone.co.id, seputar-indonesia.com, suarapembaruan.com, thejakartapost.com, republika.co.id, surya.co.id, gatra.com, dan masih banyak lagi (www.ajiindonesia.org).
            Banyaknya situs news online di Indonesia saat ini, selain memunculkan semangat kebebasan pers yang terasa semakin bebas di era media baru, namun juga menimbulkan sedikit kekhawatiran. Ciri kecepatan yang dimiliki oleh media online merupakan keunggulan sekaligus kelemahan. Di satu sisi, situs news online menguntungkan khalayak yang dapat mengetahui informasi terkini dengan cepat kapanpun dan dimanapun tanpa harus menunggu berita dimuat di media cetak keesokan harinya. Di sisi lain, karena sifat aktualitasnya itulah, jurnalisme online seringkali menomorduakan masalah akurasi berita. Berita yang ditulis sering belum mendapatkan verifikasi dari objek yang diberitakan. Hal inilah yang mengakibatkan beberapa berita yang ditulis dalam news online keliru (Oetama, 2001: p.13). Salah satu contoh kasus kekeliruan berita di news online adalah kasus Imanda Amalia yang dikabarkan sebagai WNI yang tewas saat kerusuhan di Mesir bulan Februari 2011 lalu. Berita ini diperoleh dari sebuah posting di akun facebook milik Science of Universe. Imanda dikabarkan berada di Mesir sebagai relawan United Nations Relief and Works Agency (UNRWA). Meski belum ada kejelasan data dari Kedutaan Besar maupun dari Kementerian Luar Negeri, namun beberapa news online seperti detik.com dan tribunnews telah memberitakan hal tersebut di running news mereka, bahkan sampai diikuti oleh beberapa stasiun televisi swasta sehingga hampir seluruh masyarakat percaya akan hal itu. Namun rupaya berita tersebut hanyalah isu belaka, pada akhirnya Kemenlu RI memastikan bahwa tidak ada WNI yang tewas di Mesir. Meskipun demikian, kekeliruan berita dalam news online adalah sering dianggap sebagai hal wajar karena memang para wartawan media online harus bersaing untuk mendapatkan berita tercepat dan karena pemuatan berita tersebut bersifat running news, sehingga berita yang salah dapat diperbaiki dalam berita terbaru yang dimuat. Inilah rupanya yang membuat masyarakat jarang sekali protes bila ada kekeliruan berita di news online (http://www.urbansosial.com/artikel/internet-media-sosial-dan-revolusi-jurnalistik-1.html).
Pelanggaran etika jurnalistik dalam media online, seperti yang terjadi dalam kasus di atas memang rawan terjadi. Contoh pelanggaran etika jurnalistik pada kasus di atas ialah penggunaan media sosial sebagai sumber berita tanpa adanya verifikasi terlebih dahulu. Selain itu, dalam media online juga rawan terjadi pelanggaran hak cipta dengan mengambil gambar dan mengutip tanpa mencantumkan sumber, dan plagiarisme (http://jurnalis.files.wordpress.com/2011/07/menjelang-sinyal-merah.pdf). Hal ini jelas merupakan pelanggaran bagi kode etik jurnalistik (KEJ) yang dalam pasal-pasalnya menyebutkan bahwa wartawan Indonesia menghasilkan berita yang akurat, menghasilkan berita faktual dan jelas sumbernya, pengambilan gambar, foto, suara dilengkapi sumber, tidak melakukan plagiat, dan selalu menguji informasi (http://www.scribd.com/doc/66506869/Kde-Etik-Jurnalistik-Siasat-Kota-Kepri).
Ironis memang, bagaimana sebuah kode etik, yang dibuat oleh para jurnalis ternyata banyak dilanggar oleh para jurnalis sendiri. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa karakter jurnalisme online berbeda dengan jurnalisme cetak, televisi, dan radio. Kebebasan pers yang sudah sedemikian bebasnya, ternyata dapat lebih bebas lagi di media online. Dalam media online batas-batas etika menjadi semakin kabur, informasi mana yang menjadi hak privat dan hak publik menjadi semakin tidak jelas. Melalui internet, informasi apapun bisa didapatkan, termasuk informasi pribadi yang semestinya tidak dikonsumsi oleh jurnalis online sebelum diberitakan pada publik (Reddick dan King, 2001: p.200).
            Perkembangan media online yang pesat serta ancaman akan akurasi berita pada situs news online itulah yang membuat Dewan Pers kini sedang berupaya untuk menyusun suatu etika jurnalistik yang khusus mengatur tentang jurnalisme online, karena kode etik jurnalistik yang sudah ada kini dianggap belum menyinggung etika pelaku jurnalisme online. Karena itulah, Dewan Pers merasa perlu merumuskan etika jurnalisme online termasuk juga untuk kode etik citizen journalism. Sebab bagaimanapun juga prinsip-prinsip jurnalisme dasar seperti verifikasi, konfirmasi, dan cover both sides penting untuk dilakukan meskipun ada tuntutan aktualitas berita (http://www.jakcity.com/news/nasional/301-regulasi-etika-media-online.html). Jadi, dengan adanya kode etik media online ini, nantinya para wartawan dan pemilik media online dapat melaksanakan kebebasan pers online yang bertanggung jawab, dan menaati kode etik yang telah mereka rumuskan dan setujui sendiri. Untuk saat ini, para wartawan media online diharapkan dapat mengikuti aturan KEJ yang telah ada, sesuai pendekatan etika komunikasi makro, dan kode etik organisasi medianya sesuai pendekatan etika komunikasi mikro (Berkman dan Shumway, 2003: p. 4).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar