Di era media baru saat ini,
peralihan dari media cetak konvensional ke media online turut mempengaruhi industri media Indonesia. Kini, di
Indonesia semakin banyak situs news
online yang menawarkan update
berita terkini yang dapat diakses secara cepat melalui internet dimanapun dan
kapanpun. Awalnya news
online ini dipelopori oleh detik.com, lalu kemudian diikuti dengan
munculnya portal online yang lain
seperti okezone.com, vivanews.com, inilah.com, beritasatu.com, tribunnews.com,
dan sebagainya. Media cetak maupun televisi yang memiliki program berita juga
mulai meluncurkan news online mereka,
seperti kompas.com, mediaindonesia.com, tempointeraktif.com, metrotvnews.com,
jawapos.com, liputan6.com, tvone.co.id, seputar-indonesia.com,
suarapembaruan.com, thejakartapost.com, republika.co.id, surya.co.id,
gatra.com, dan masih banyak lagi (www.ajiindonesia.org).
Banyaknya situs news online di Indonesia saat ini, selain
memunculkan semangat kebebasan pers yang terasa semakin bebas di era media
baru, namun juga menimbulkan sedikit kekhawatiran. Ciri kecepatan yang dimiliki
oleh media online merupakan
keunggulan sekaligus kelemahan. Di satu sisi, situs news online menguntungkan khalayak yang dapat mengetahui informasi
terkini dengan cepat kapanpun dan dimanapun tanpa harus menunggu berita dimuat
di media cetak keesokan harinya. Di sisi lain, karena sifat aktualitasnya
itulah, jurnalisme online seringkali
menomorduakan masalah akurasi berita. Berita yang ditulis sering belum
mendapatkan verifikasi dari objek yang diberitakan. Hal inilah yang
mengakibatkan beberapa berita yang ditulis dalam news online keliru (Oetama, 2001: p.13).
Salah satu contoh kasus kekeliruan berita di news online adalah kasus Imanda Amalia yang dikabarkan
sebagai WNI yang tewas saat kerusuhan di Mesir bulan Februari 2011 lalu. Berita
ini diperoleh dari sebuah posting di akun facebook milik Science of Universe.
Imanda dikabarkan berada di Mesir sebagai relawan United Nations Relief and
Works Agency (UNRWA). Meski belum ada kejelasan data dari Kedutaan Besar maupun
dari Kementerian Luar Negeri, namun beberapa news online seperti detik.com dan tribunnews telah memberitakan hal
tersebut di running news mereka,
bahkan sampai diikuti oleh beberapa stasiun televisi swasta sehingga hampir
seluruh masyarakat percaya akan hal itu. Namun rupaya berita tersebut hanyalah
isu belaka, pada akhirnya Kemenlu RI memastikan bahwa tidak ada WNI yang tewas
di Mesir. Meskipun demikian, kekeliruan berita dalam news online adalah sering dianggap
sebagai hal wajar karena memang para wartawan media online harus bersaing untuk mendapatkan berita tercepat dan karena
pemuatan berita tersebut bersifat running
news, sehingga berita yang salah dapat diperbaiki dalam berita terbaru yang
dimuat. Inilah rupanya yang membuat masyarakat jarang sekali protes bila ada
kekeliruan berita di news online (http://www.urbansosial.com/artikel/internet-media-sosial-dan-revolusi-jurnalistik-1.html).
Pelanggaran etika jurnalistik dalam
media online, seperti yang terjadi
dalam kasus di atas memang rawan terjadi. Contoh pelanggaran etika jurnalistik
pada kasus di atas ialah penggunaan media sosial sebagai sumber berita tanpa
adanya verifikasi terlebih dahulu. Selain itu, dalam media online juga rawan terjadi pelanggaran hak cipta dengan mengambil
gambar dan mengutip tanpa mencantumkan sumber, dan plagiarisme (http://jurnalis.files.wordpress.com/2011/07/menjelang-sinyal-merah.pdf). Hal
ini jelas merupakan pelanggaran bagi kode etik jurnalistik (KEJ) yang dalam
pasal-pasalnya menyebutkan bahwa wartawan Indonesia menghasilkan berita yang
akurat, menghasilkan berita faktual dan jelas sumbernya, pengambilan gambar,
foto, suara dilengkapi sumber, tidak melakukan plagiat, dan selalu menguji
informasi (http://www.scribd.com/doc/66506869/Kde-Etik-Jurnalistik-Siasat-Kota-Kepri).
Ironis memang, bagaimana sebuah kode etik, yang dibuat oleh para jurnalis
ternyata banyak dilanggar oleh para jurnalis sendiri. Namun, tak dapat
dipungkiri bahwa karakter jurnalisme online
berbeda dengan
jurnalisme cetak, televisi, dan radio. Kebebasan pers yang sudah sedemikian bebasnya, ternyata dapat lebih bebas
lagi di media online. Dalam media online batas-batas etika menjadi semakin
kabur, informasi mana yang menjadi hak privat dan hak publik menjadi semakin
tidak jelas. Melalui internet, informasi apapun bisa didapatkan, termasuk
informasi pribadi yang semestinya tidak dikonsumsi oleh jurnalis online sebelum diberitakan pada publik
(Reddick dan King, 2001: p.200).
Perkembangan media online yang pesat serta ancaman akan
akurasi berita pada situs news online
itulah yang membuat Dewan Pers kini sedang berupaya untuk menyusun suatu etika
jurnalistik yang khusus mengatur tentang jurnalisme online, karena kode etik jurnalistik yang sudah ada kini dianggap
belum menyinggung etika pelaku jurnalisme online.
Karena itulah, Dewan Pers merasa perlu merumuskan etika jurnalisme online termasuk juga untuk kode etik citizen journalism. Sebab bagaimanapun
juga prinsip-prinsip jurnalisme dasar seperti verifikasi, konfirmasi, dan cover both sides penting untuk dilakukan
meskipun ada tuntutan aktualitas berita (http://www.jakcity.com/news/nasional/301-regulasi-etika-media-online.html). Jadi, dengan adanya kode etik
media online ini, nantinya para
wartawan dan pemilik media online
dapat melaksanakan kebebasan pers online
yang bertanggung jawab, dan menaati kode etik yang telah mereka rumuskan dan
setujui sendiri. Untuk saat ini, para wartawan media online diharapkan dapat mengikuti aturan KEJ yang telah ada, sesuai
pendekatan etika komunikasi makro, dan kode etik organisasi medianya sesuai
pendekatan etika komunikasi mikro (Berkman dan Shumway, 2003: p. 4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar