Total Tayangan Halaman

Selasa, 20 November 2012


-          Segelintir cerita di Kampung halaman
                Atap yang lonjong mirip tanduk kerbau yang melebar besar khas sekali dengan budaya minangkabau yang permai. Gambaran tentang dimana seorang pendiri bangsa tumbuh dari rumah khas Rang pandan gadang. Memang setiap Rumah Gadang khas minang kabau berbeda setiap daerah mulai dari pintu, jendela, tangga serta ruangan dan arsitektur yang ada. Semua itu di pengaruhi oleh lingkungan alamnya dan leluhur dulunya. Sesuai dengan budaya adat minang selalu surau, sebuah tempat beribadah dan brekumpul bagi pemuda minang. Tempat ini sama seperti mushala namun lebih besar dari mushala. Dari sini lah setiap pemuda minang menuntut ilmu baik agama maupun yang lainnya seperti silat sebagai pembela diri.
Agama bagi orang minang adalah bagian dari hidup mereka karena agama adalah bagian dari adat ibarat antara roh dan jasad,  ibarat falsafah minang :
 Adat basandi syarak, dan syarak basandi Kitabullah” artinya adat berpegang pada agama, agama berpegang pada kitab Allah( Alquran).
 Begitulah adanya budaya dan agama saling menopang satu sama lain dalam mejembatani hidup. Begitupun dalam hal budaya dan pembelaan diri semua lebih kepada aturan leluhur. Leluhur mengajarkan silat atau bahasa minangnya silek yang merupakan seni bela diri dalam membekali diri menjalani kehidupan.Silek sangat berguna bagi seorang pemuda minang sebelum merantau jauh. Budaya orang minang adalah perantau jadi butuh pembekalan dalam menjaga diri baik hati maupun raga. Seperti petatah petitih minang
musuah indak dicari tapi kalu basuo pantang di ilak an” artinya musuh dicari tapi kalu ada dan ketemu pantang dihindari atau di elakan.
 Itulah pedoman seorang pemuda minang dalam merantau.Orang minang selalu menjunjung tinggi adat dia dan adat tempat dia tinggal atau hidup. Sesuai pepatah leluhur orang minang.
 “Dimano bumi di pijak, di sinan langik di junjuang” artinya dimana bumi di pijak disana pula langit di junjung. Itu lah bekal seorang pemuda minang dalam menjalani hidup baik diperantauan atau di kampong sendiri.
Keluarga Tan malaka  atau leluhurnya awalnya datang dari Bonjol, utara Payakumbuh ketika pecah perang Paderi karena daerah sebelumnya tidak subur. Pandan Gadang adalah sebuah lembah yang subur. Jalanan dari payakumbuh berliku-liku mengitari bukit barisan disekelilingnya. Kemudian datang penjajah kolonial belanda dan menempatkan seorang kontrolir. Ini seperti jabatan  camat pada pemerintahan. Setelah kedatangan kolonial terjadi pungutan pajak dengan menanam kopi sebagai penggantinya.
Rumag gadang selalu ada seperti tabek, kolam ikan dimana hasilnya bisa dimakan bersama.kolam ikan biasa diisi sama ikan air tawar. Ada juga rangkiang , tempat penyimpanan beras khas minang kabau. Jadi semua persediaan itu sudah ada di alam, tinggal bagaimana memanfaatkannya. Alam begitu pemurah, sawah dipanen dua kali setahun dan air gunung mengaliri sawah sawah tersebut. Dari alam semunya ada, dari alam pun kita belajar seperti kata papatah dan falsafah orang minang
“alam takambang jadi guru”  artinya alam yang terlentang dan luas bisa jadi Guru. Begitulah pepatah minang mengajarkan setiap pemuda dalam mengarungi setiap kehidupan.
Itulah gambaran bagi seorang pemuda sebelum beranjak dewasa harus banyak perbekalan ilmu baik dunia dan akhirat. Semua harus matang dalam mendapatkan ilmu tersebut sehingga hidup lebih penuh arti dan makna. Begitu potret lelaki minangkabau Seperti Apa yang di lakukan Tan malaka kecil atau biasa dipanggil  Ibra..  Dia juga gemar sekali  bermain layang-layang. Kecenderungan lelaki minang jarang berdiam diri atau tidur di rumah mereka lebih senang di surau . begitupun Tan malaka dalam kesehariannya.
Tan malaka sosok anak yang badung tapi baik hati dan pemberani. Dalam menuntut ilmu agama Tan sudah hapal Alquran dan tidak pernah meninggalkan sembahyang atau shalat. Selain itu   Tan malaka adalah seorang perenang ulung di kampungnya waktu kecil, beberapa kali ia ditantang sama temannya untuk berenang. Namun suatu saat Tan kurang beruntung dalam menghadapi tantangan temannya itu. Kejadian itu berawal ketika Tan mengunjungi ayahnya yang bekerja di  Tanjung Ampalu, Sawahlunto. Ia di tantang anak-anak setempat untuk menyeberangi sebuah sungai selebar 50 meter yang berarus deras.
Tan tidak kuat menahan kuatnya arus sungai dan hadangan aliran sungai yang luas. Dia terombang-ambing dan hilang ingatan. Badan yang kurus terapung-apung di sungai yang luas dan deras. Tubuhnya terbawa arus sungai yang luas, namun beberapa saat seorang teman yang bertubuh besar menyeretnya ke pinggir sungai. Akhirnya dia kembali sadar dari peristiwa yang hampir meregut nyawanya itu. Kerasnya hati Tan malaka tidak sebesar kemampuannya dalam menghadapi tantangan menyeberangi sengai yang lebarnya 50 meter dengan arus yang kuat dan deras.
***
Ia berada disisi Ibunya dan ibunya sudah menyiapkan sebatang kayu rotan untuk memukulnya. Beberapa kali pukulan rotan mengayun kea rah Tan malaka, datanglah ayahn-ya yang  menyelamatkan Tan malaka dari kemarahan ibunya akibat dari tingkah laku Tan yang bandel. Demi menghindari kemarahan Ibu Tan Malaka, maka Ibra atau sapaan kecil Tan di ikat di pinggir jalan. Ayahnya mengikat Ibra sebagi Hukuman dan terhindar dari pukulan ibunya. Ibra menjadi tontonan bagi orang yang lewat di pinggir Jalan, Terutama anak-anak yang seumuran dengan dia.
Ibunya Tan tidak habis akal, dia mengadukan kelakuan anaknya itu pada Guru Gadang atau guru kepala. Pengaduan itu berbuah sebuah hukuman buat Tan. Pada saat itu hukuman ini sangat mengerikan bagi kalangan anak-anak, sebuah hukuman bagi anak yang kelewat badung. Hukuman itu adalah pilin pusar atau Jewer Puser. Akhirnya Tan sudah terbiasa kena hukuman jewer Puser. Tan malaka ketika main sembur-semburan dan permainan “perang jeruk” yang berujung pada peristiwa saling lempar batu, dan kemudian Tan dihukum ibarat “penjahat perang” karena dihukum dengan cara dikurung dalam kandang ayam dan pilin pusar  atau jewer puser.
Kebadungan Tan malaka atau Ibra berbanding terbalik dengan kecerdasan sehingga para  guru di sekolah kelas dua sampai terkagum. Mereka sampai merekomendasikan Ibra untuk melanjutkan pendidikannya pada sekolah yang sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Mereka menyuruh Tan masuk sekolah ke Sekolah Guru Negeri untuk guru-guru pribumi  di Fort de Kock (Bukittingi Sekarang). Di sini satu-satunya lembaga lanjutan bagi lulusan Sekolah kelas Dua, setelah menempuh pendidikan selama lima tahun.
Sekolah ini biasanya hanya diperuntukan bagi golongan kelas atas seperti bangsawan atau sekelas ningrat. Hanya segelintir orang yang bisa masuk sekolah ini terutama pegawai tinggi. Sedangkan ayah Ibra hanya pegawai rendahan yang bekerja sebagai mantra suntik atau atau vaksinator yang berganji rendah  hanya beberapa Gulden(F) saja. Sedangkan biaya yang ditanggung Ibra sampai delapan Guden (F8).
Semua itu tidak membuat ibra patang arang. Banyak sokongan dan dukungan yang datang terutama dari para guru kelas dua. Mereka ingin Ibra atau Tan melanjutkan pendidikan di Kota Benteng. Sebab Tan adalah calon datuk di Pandang gadang, maka perlu Ilmu dan pendidikan yang cukup sebagai bekal nanti dalam melanjutkan pucuk pimpinan adat dan akan membewahi beberapa datuk nantinya.
Pada 1907 tan malaka terdaftar  bersekolah di fort de kock. Disinilah awal perantauan Tan atau Ibra sebelum dia berangkat ke negeri Kincir angin. Para tetua kampung melepasnya sebagai salah satu cara memperbaiki kehidupan. Sesuai dengan Falsafah minang yakni “ Pambangkik batang tarandam” artinya sebagai orang yang akan membawa kehormatan keluarga bahkan kampung atau adat. Jiwa dan darah yang mengalir bagi orang minang adalah merantau, karena dengan merantau bakal membawa nilai-nilai kebaikan yang ada di dunia luar sana.
Dalam sistem adat minangkabau yang matrilineal yakni berdasarkan garis keturunan ibu menjadi salah satu tolak ukur bahwa anak laki-laki akan terusir dari kampung dan merantau, dan kembali pulang dengan sebuah keberhasilan yang membanggakan orang tua, sanak keluarga, adat dan kaum.
Dalam perantauanya di Kota Jam Gadang itu, Tan banyak belajar terutama tentang budaya penjajahnya yakni Belanda. Dia belajar bahasa Belanda  dan kemudian bergabung dengan orkes sekolah sebagai pemain Cello di bawah komando G.H Horensma. Disamping itu Tan juga tak lupa akan hobinya dulu yakni main bola sama seperti dikampung. Banyak menghabiskan waktu luang dengan bermain sepak bola.
 Tan dianggap oleh Horensma sebagai anak sendiri, sampai Tan dipanggil dengan sebutan Ipie. Horensma sangat saying pada IPie, setiap saat selalu mengingatkan untuk belajar lebih giat. Namun hanya sia-sia semata tan lebih senang bermain, tapi bagi  Tan bermain dan belajar sama penting karena kecerdasan Tan yang cemerlang, jadi dia tidak perlu mengulang pelajaran lagi sebab sudah lengket di otaknya yang cerdas namun badung. Tan atau Ipie panggilan bagi oleh Horensma menjadi siswa yang cerdas, samapi Horensma pun terkesima dengan kecerdasan Tan. Sebadungnya IPie tapi dia tetap ramah dan santun.
***
Musim liburan sudah datang, waktunya Tan alias Ipie, alias Ibra pulang kampung semenjak dia pertama kali merantau Ke Fort de Kock. Ia kembali ke Pandang Gadang, kampung halamannya Tan. Mungkin karena rasa rindu dia pulang. Di rumah dia bercita-cita ingin adiknya kamaruddin belajar sungguh sungguh dan tidak mendapatkan nilai yang merah. Kamaruddin adalah adik satu-satunya Tan. Sehingga Tan ingin adiknya bisa mengikuti jejak Tan. Pada suatu hari adiknya kamaruddin mendapatkan nilai rendah atau merah, maka Tan tanpa banyak cakap dan basa – basi langsung menyeret adiknya itu ke empang dan secara berulang dia membenamkannya. Sambil berkata Tan pada adiknya
“Bodoh, kamu Harrus belajar!”
Bagaimana kerasnya sosok Tan dalam menerapkan kemauan kerasnya agar adiknya itu mau belajar keras.
                Apa yang ditunggu akhirnya datang juga, peristiwa dimana sebuah gelar dan penobatan terhormat bagi Tan sebagai pemangku Gelar. Keluarga besar Tan di Suliki  harus memanggilnya pulang walaupun setahun lagi Tan akan ujian teori akhir. Penobatan datuk yang Tan terima sebagai pengganti gelar terdahulunya yang sudah tua dan tidak bisa lagi memimpin. Penobatan ini biasanya diselingi dengan pertunangan tapi Tan menolak pertunangan tersebut sehingga Pihak keluarga besar kecewa terhadap penolakan Tan tersebut. Penobatan sebagai sebuah pesta atau dinamakan Alek Gadang , Alek Gadang ini tidak hanya Penobatan Gelar tapi juga penikahan. Pesta besar ini pun Kurang meriah kerena penolakan pertunangan tersebut.
                Setelah acara usai Tan malaka, kembali lagi ke kota Jam Gadang melanjutkan aktifitasnya. Dia terlarut dan tengelam dalam pelajaran serta hobi nya. Dalam kegiatannya Tan mengikuti berbagai kegiatan seperti mengajar baris berbaris atau biasa disebut dengan pelatihan baris berbaris (PBB). Dalam masa itu PBB sangat terkenal seperti tentara karena pengaruh dari penjajahan militer belanda.
-          Perjuangan Di Negeri Kincir Angin
Tan berangkat ke Belanda untuk melanjutkan sekolah guru. Tan di Belanda tepatnta di daerah Haarlem. Dsini dia pertama kali menginjakan kaki di tanah Dam ini. Tan datang ke Belanda tahun1913. Tan yang dulu tak jauh beda dengan Tan yang di Belanda. Tan tinggal di sebuah rumah pemondokan bersama murid Rijkweekschool di jalan Nassaulaan. Tapi Tan tidak betah di sana, dan ia pindah ke Jacobijenestraat yakni sebuah jalan kecil di belakang Grote Markt. Rumah-rumah tua dan kecil terlihat seperti berdesakan. Tipikal rumah buruh yang bergaya tahun abad 20 –an.
Tan malaka disambut suasana dan aura kemiskinan. Haarlem pada saat itu sedang dilanda depresi ekonomi dan jatuh bangun. Banyak pabrik-pabrik gulung tikar seperti pabrik bir, tekstil, dan lainnya yang tidak dapat lagi menjadi tulang punggung kota haarlem. Dalam kondidi yang tak pasti Tan menempuh pendidikan gurunya di Negeri incir angin ini. Dia harus bias menyesuaikan dengan keadaan setempat baik dari iklim, makanan, serta kehidupan denganbudaya yang baru.
Dengan dana dan uang saku yang minim tan harus berjuang menempuh pendidikan guru untuk membawa sebuah cita-cita yakni Indonesia yang bebas dari kolonialisme. Dengan uang saku yang hanya 50 gulden setiap bulannya, Tan hanya sanggup tinggal dengan keluarga miskin. Hamper setiap hari Tan bersepeda ke sekolah. Gedung Rijkweekschool di tepi sungai Spaarne yang berjarak 10 hingga 15 menit bersepeda.
Semangat Tan menempuh pendidikan guru berkat Guru tan teman-temannya yang mudah menerima Tan yang pandai bergaul walalupun kendala bahasa ada. Tan yang hobi sepak bola, membuat Tan masuk ke klub Vlugheid Wint. Tan memilki tendangan yang kencang tapi Karena dia tak bersepatu Tan sering terluka. Bukan itu saja, saat bermain bola yang lain pakai baju yang tebal atau jaket tapi Tan tidak memakainya sehingga teman-temannya selalu memperingatkan Tan.   Karena keadaan yang tak baik maka Tan terserang penyakit radang paru tepat pada musim panas. Kondisi Tan yang kurang sehat membuat Tan sulit untuk belajar, pada saat ujian pun Tan ambruk.
Dalam segi pemikiran Tan dalam politik menjadi berkembang dan bersemi seiring musim semi yang ada. Tan tidak tahu bahwa dunia yang sedang bergolak membuat para teman-temanya melarikan diri dari pengungsian. Kata revolusi selalu menjelma dalam jiwa tan mengalir dalam setiap darah Tan. Tan tak bias menghindar dari pergulatan politik dunia yang memanas. Perang yang berkecamuk membuat perkembangan pemikiran politik Tan bertambah.
“tiba-tiba saya berada dalam semangat dan paham yang lazim dinamai revolusioner,” tutur Tan dalam tulisannya. Bacaan yang berhaluan kiri membuat Tan mengatakan Revolusi adalah segalanya. Para filsuf dan pemikir politik yang berhaluan kiri menjadi pedoman Tan dalam merintis Revolusi untuk Indonesia. Sebagai pelajar bangsa yang terjajah, Tan Malaka Akhirnya merasa sudah saatnya ada revolusi di Indonesia agar terlepas dari penjajhandanmulai membangun system sosialisme. Tan banyak mendapatkan pelajaran penting tentang politik selama enam tahun, Tan akhirnya memutuskan untuk pulang ke Indonesiapada tahun 1919 tersebut. Tan pulang hanya dengan satu cita-cita yakni mengubah nasib bangsa Indonesia.
-          Tan Malaka dan Sekolah Deli
Deli adalah kota besar dengan penduduk sekita dua juta orang, namun menyedihkan di sana. Sekitar 60 persen penduduk Deli merupakan keluarga kuli kontrak perkebunan, pertambangan minyak, dan pengangkutan. Mereka proletar tulen dan para pemilik tanah kaum bourjuis tulen yang arogan. Deli merupakan daerah proletaria yang sesungguhnya. Tan datang ke Deli atas pemintaan Janssen-lah sebagai direktur sekolah, yang pada saat itu Tan menempuh pendidikan sekolah guru di belanda. Karena Tan sudah bertekad untuk pulang ke Indonesia Pada Saat itu dan ada tawaran untuk bekerja di Sekolah maka Tan menerima tawaran itu.
Tan malaka selalu menjadikan Marxisme dan antikolonialisme sebagai dasar hidupnya dan pendidikan bagi anak kuli di Deli. Perjuangannya dalam membela anak para kuli di perkebunan selalu menjadi boomerang oleh para tuan tanah. Pada rapat tuan tanah di wilayah perusahaan senembah Mij baru saja di mulai. Tuan besar perkebunan hadir dalam rapat tersebut. Di antara yang hadir hanya dua orang yang Tan kenal, salah satu diantaranya Herr Graf yang berasal dari Tanjung Morawa, yang saat itu bernama Sumatera timur.
Suasana yang tegang terjadi saat kedua mata mereka bertemu di titik yang sama.tapi Graff mengalihkan pandangannya ke arah yang lain Seolah musuh bebuyutan yang tak pernah akur. Tan menyebut Graff musuh nomor satu disana. Saling beradu pandang ibarat saling beradu pedang diantara mereka berdua selama rapat. Alasan utama Tan tidak suka pada Graff karena Graff menyebarjan fitnah dan menjelek-jelekan Tan. Suasana semakin panas dan tiba waktu bagi tan untuk menyampaikan pendapatnya. Tan tidak menyiakan kesempatan dan peluang yang ada.
Menurut Tan pendidikan bagi para anak kuli penting dalam mewujudkan tujuan mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. Tan berbicara sperti itu karena sudah memiliki jabatan penting dalam pengawasan sekolah di Deli serta Tan sudah dua tahun menjadi asisten disana.
“Anak kuli adalah manusia juga ,“ Kata Tan bersemangat. Tan merasa para tuan tanah, pengawas atau pemilik  kebanyakan tidak mempedulikan anak para kuli. Mereka menganggap sekolah bagi anak kuli Cuma membuang Uang, sebab sekolah dalam pola pikir para tuan tanah bakal menimbulkan kebrutalan dan kekhawatiran lebih dari bapak mereka. Pendidikan bias membuat kader-kader baru pada organisasi yang ada sperti sarekat islam.
Setelah beberapa hari rapat usai, Tan bertemu  Dr Janssen yakni direktur sekolah. Pada juni 1921 itu juga Tan mengajukan permintaan yang mengejutkan yakni pengunduran diri Tan disebabkan oleh ketidak sukaan para tuan tanah pada Tan karena memperjuangkan pendidikan para anak kuli. Tan merasa komplotan tuan perkebunan tembakau yang dipimpin oleh Graff sangat mengganggu kerjanya, selain itu ada beberapa hal yang membuat Tan harus benar-benar mengambil keputusan yang bijak dalam pengunduran dirinya. Beberapa perkara yang membuat tan merasa tidak bias lagi bertahan disekolah tersebut sebagai asisten, pertama perbedaan warna kulit yang ada, kedua ada pada model pendidikan bagi anak kuli, ketiga menyangkut artikel-artikelnya pada surat kabar di Deli, dan yang terakhir menyangkut hubungannya dengan para kuli perkebunan.
 Tan melihat semua perkara itu dari kaca mata Marxisme yakni konflik antara kaum kapitalis dan proletar. Tan menyebutnya pertentangan antara “Belanda-kapitalis-penjajah” dan “Indonesia-Kuli-jajahan”. Tapi Janssen tidak menghalagi keinginan Tan tersebut Karena dia juga akan balik ke Belanda. Dia meminta kantor untuk membayar gaji Tan selama dua bulan dan menyediakan Tan sebuah karcis kapal laut kelas satu ke Jawa.  Perjuangan tandi negeri seberang membuat Tan harus terbuang kembali ke negeri Kincir angin ini.
Tan selama di jawa aktif dalam pergerakan dengan tokoh islam lainnya, terutama dalam hal pendidkan untuk rakyat. Tapi karena belanda tidak suka pada gaya pendidikan Tan yang akan merongrong Belanda maka Tan ditangkap apad amret 1922 di Bandung, karena pada saa itu terjadi pemogokan buruh dan Tan menjadi wakil ketuanya. Tan ke Belanda bukan sebagai pelajar lagi tapi sebagai orang buangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar